Tiga tahun terakhir, waktu pulang kantorku hampir dipastikan menjelang tengah malam. Kalupun bisa sampai di rumah sebelum jam 10, itu termasuk ‘pulang sore’ buatku. Untungnya, ada fasilitas antaran mobil dari kantor. Kalaupun aku harus mendapat giliran diantar terakhir, nggak begitu masalah, toh nyaman dan aman hingga depan rumah.
Pada setiap perjalanan pulang itulah aku menyaksikan berbagai perjuangan hidup.....
Apa yang kau pikirkan, saat melintas pada sebuah sisi jalan remang-remang, dimana deretan perempuan asli dan jadi-jadian dengan sikap, dandanan, dan pakaian yang ‘mengundang’, terlihat mematung menahan dinginnya udara malam dan mungkin juga nyamuk-nyamuk yang menyerang badan yang tak terbalut rapat, hanya untuk menunggu datangnya satu..dua..atau tiga laki-laki yang mau bertransaksi nafsu namun tak kunjung datang?
Apa yang kau rasakan, saat melewati seorang penjual kacang rebus dengan gerobak dorongnya di jalan kampung yang semua rumah sudah tertutup rapat, lampu-lampu rumah telah dipadamkan, penghuni-penghuni rumah telah bermimpi?
Apa yang ada dalam hatimu, saat akan membuka gerbang rumahmu, dan penjual siomay keliling dengan sebuah panci di boncengannya, sebuah lampu minyak diantara botol-botol sausnya, masih saja membunyikan bel sepeda tuanya sebagai tanda bahwa ia masih memiliki cukup stok siomay untuk dimakan siapapun yang lapar.... namun kau tau seluruh penghuni kampungmu tak ada lagi yang terjaga atau berminat untuk sekedar makan sepiring siomay seharga seribu lima ratus rupiah?
Manusia-manusia pagi tak kalah hebatnya dari manusia-manusia malam itu...
Ketika jalanan belum disesaki, embun belum turun, dan mimpi-mimpi masih menggelayut pada tidur yang nyenyak, bapak tua itu sudah menarik gerobak sampah dengan tubuh condongnya, tertatih menarik tali yang dililitkan pada dahi, dan satu tangan yang terus saja memunguti setiap sampah ditemui... agar kalian yang nanti melihat terangnya kota ini merasakan pagi yang bersih dan indah lalu mengotorinya lagi!
Lalu pagi ramai dan berisik! Ibu itu membawa satu termos air panas, setumpuk gelas plastik mirip gelas air mineral, satu renteng kopi kemasan instant, menunggu di kelokan jalan yang tidak strategis, berharap ada manusia-manusia mengantuk yang mau menukar uang seribu...dua ribunya dengan ramuan ‘anti kantuk’nya itu. Banyakkah yang mau? Tidakkah orang2 kota itu selalu berpikir curiga, higienis, dan penuh gengsi?
Ketika matahari sampai pada puncaknya di atas kota ini, bapak tua bertopi, ‘berikat pinggang’ sebotol air mineral, memanggul dua buah tangga dari bambu, menyusuri kampung demi kampung, menawarkan adi karyanya itu...dan tak ada yang mendengar karena ia berteriak dalam diam, kira-kira kapan ia akan melepaskan harapannya pada sebuah penawaran yang tak lebih dari dua puluh ribu rupiah? Bisakah hari itu juga? Tidakkah petang segera datang? Sabarkah istri, anak atau siapapun miliknya tersayang menunggu jerih payah hebatnya hari itu?
Ketika debu-debu kembali melumuri dua pasang sepatu bekas, dua pasang sendal bekas, beberapa potong baju bekas yang digantung rendah pada tiang listrik dan batang pohon palem tepi trotoar, bapak tua itu tetap rajin menyapukan kemocengnya....dan barang-barang itu kembali ‘bersinar’, harapannya kembali melambung...akan ada orang yang membeli dagangannya itu, yang selalu sama jumlah dan jenisnya dari hari ke hari....
Dan aku tak pernah menemukan wajah-wajah yang murung, duka atau ragu pada mereka.