Inilah kota yang tak pernah tidur itu, Jakarta.
Saat yang mengaji subuh ini belum selesai, sebagian penduduknya yang lain sudah bersiap ke tempat kerja. Seperti diriku yang tengah menyusuri gang-gang sempit perkampungan tepi kota ini untuk mencapai jalan raya dan menunggu angkot di sana.
Satu-persatu penghuni rumah-rumah petakan yang kulewati, keluar dan ikut menyusuri jalanan sepertiku. Tak ada sapa. Pikiran kami terlalu sibuk berdoa agar hari ini tidak terlalu macet, tidak telat tiba di tempat kerja, dan bisa kembali ke rumah sebelum larut malam untuk menebus kantuk yang masih menyisa di mata. Sesekali terdengar suara tangis anak kecil. Mungkin baru saja bangun dan tak mendapati ibu di sampingnya karena sedang menyiapkan sarapan di dapur atau ... ya, sudah berangkat kerja sepertiku.
Mbak Ani, pedagang sayur keliling yang kukenal, kulihat tengah menyiapkan dagangannya, menyusun satu-persatu sayuran yang dibeli dari pasar dini hari tadi. Pedagang sayur keliling ini sangat membantu ibu-ibu yang tak sempat ke pasar atau kekurangan bumbu di tengah-tengah memasak.
“Berangkat kerja, Sri?” Tanya mbak Ani yang sudah melihatku dari jauh.
“Iya, mbak. Mariii..” Jawabku sambil melambatkan jalannya kaki.
“Monggo..monggo…” Mbak Ani melanjutkan menyusun dagangannya.
Serombongan keluarga pemulung dengan gerobaknya melintas. Di ujung jalan, petugas penyapu jalan raya yang berseragam orange tengah memindahkan sampah yang berhasil dikumpulkannya, ke bak sampah yang ia bawa. Di seberang jalan, antrian pembeli nasi uduk juga panjang. Aku baru ingat kalau belum sarapan pagi.
Angkot yang kunanti tiba. Bergegas aku naik dan mendapat tempat duduk di pojok kanan belakang. Kuperhatikan penumpang yang lain, rata-rata memejamkan mata. Bisa tidur sejenak dalam perjalanan memang lumayan. Hebatnya, kami para penumpang angkutan umum seperti ini seperti diberi radar untuk selalu terbangun ketika akan sampai tempat tujuan.
Langit mulai terang saat angkotku memasuki terminal paling padat di Jakarta ini, Pulo Gadung. Buru-buru aku turun dan mengejar antrian bis kota terdepan yang sudah perlahan jalan. Soalnya kalau sampai ketinggalan, aku harus menunggu lama di bis kota berikutnya, yang baru akan berangkat jika tempat duduk penumpang terisi penuh. Itu bisa memakan waktu setengah jam lebih. Bisa terlambat aku nanti. Makanya, jadi penumpang kendaraan umum seperti ini harus gesit!
Lagi-lagi semua penumpang yang ada memejamkan mata. Yeah…mendapat tempat duduk di angkutan umum dan bisa tidur sejenak dalam perjalanan itu surga! Aku pun melakukan hal yang sama. Sayup-sayup kudengar pengamen cilik menyanyikan lagu dari band-band yang sedang hits saat ini.
“Mampang…Mampang!”
Kernet bis berteriak untuk memberitahu posisi kami, para penumpangnya, saat ini. Hmm.. sebentar lagi giliranku turun. Kukeluarkan ongkos pas dari saku tas bagian depan yang memang sudah kusiapkan sejak dari rumah. Membuka-buka dompet di atas kendaraan umum bisa mengundang pencopet, makanya tak pernah kulakukan.
“Kiri, bang!”
Angkot menepi dan melambat namun tak sampai berhenti. Aku pun melompat turun.
Inilah kantorku tercinta. Gedung berlantai duapuluh lima yang terkenal se-antero Jakarta. Bangga sekali aku menjadi salah satu yang bekerja di dalamnya. Jam tujuh tepat aku tiba dan mengisi daftar hadir yang ada. Suasana masih lengang. Dua orang satpam berdiri di depan pintu kaca untuk memeriksa bawaan setiap orang yang masuk ke gedung ini. Sebelumnya, dua orang satpam yang lain juga sudah memeriksa di pintu gerbang kawasan gedung. Sejak aksi teror bom marak di negeri ini, pengawasan keamanan diperketat di mana-mana, termasuk di tempat kerjaku ini.
Seperti gedung-gedung perkantoran yang lain, tempat kerjaku ini juga ber-AC dan berpengharum ruangan yang menyemprot otomatis setiap sepuluh menit sekali. Dinginnya ruangan lebih dingin dari mol yang sering kudatangi kalau habis gajian. Makanya aku bersyukur sekali kerja di tempat ini karena tidak harus bekerja panas-panasan seperti tetanggaku yang jualan pakaian di pasar atau adikku yang menjadi pengantar makanan cepat saji dengan menggunakan motor. Orangtuaku juga bangga anak gadisnya bisa kerja di gedung bagus, terkenal, dan ber-AC seperti ini. Aku pernah mengajak mereka kemari saat hari libur, karena mereka penasaran dengan tempat kerja yang selalu kuceritakan wangi ini. Sepulangnya dari sini, mereka wanti-wanti agar aku bekerja dengan rajin, biar bosku sayang sama aku, dan memperpanjang masa kontrak kerja yang hanya berumur empat bulan saja. Oiya, satu lagi yang menyenangkan adalah gaji yang kuterima sebulan sekali itu langsung ditransfer ke rekeningku. Rekening itu dibuatkan oleh perusahaan tempatku kerja untuk mempermudah pembayaran gaji, katanya. Jadi, setiap bulan aku tinggal mengambil uang dengan kartu ATM yang baru pertama kalinya kumiliki. Rasanya keren sekali!
Aku bergegas ke ruang ganti untuk menukar pakaian yang kukenakan dengan seragam kerja. Sengaja aku memakai seragam jika sudah di kantor karena tak ingin seragamku basah oleh keringat dan bau asap kendaraan dalam perjalanan. Begitu juga dengan sandal yang kukenakan, kuganti dengan sepatu flat hitam yang kusimpan di belakang lemari ruang ganti. Tiap hari berlari mengejar angkutan umum tak akan membuat alas kaki tahan lama, makanya aku selalu mengenakan sandal saja, lalu menggantinya dengan sepatu, di kantor. Kupatut-patut diriku di kaca, memastikan kerapihan seragam yang kukenakan, seragam biru tua kebanggaan dengan tulisan namaku di saku depan; Sriyani, dan tulisan huruf kapital di punggung belakang atas untuk pekerjaanku; CLEANING SERVICE. Aku siap bekerja.