Beberapa hari yang lalu, seorang teman bbm dan menawariku untuk apply menjadi direktur sebuah LSM. Whaaatt?? Nggak salah tulis, nih? Director (sutradara) mungkin? Tanyaku. Tapi si temen kekeh bilang, Direktur. Oh, oke. Beberapa hari setelah itu, aku baru bisa membuka email darinya yang berisi attachment 'undangan' untuk melamar menjadi Direktur itu. Recruitment terbatas, dan aku dia rekomendasikan karena dianggap pantas. Hemm..sik..sik..ojo kesusu :D
Membaca attachment undangan menjadi Direktur itu, aku jiper sendiri. Di situ ditulis kalau calon direktur ini harus punya integritas, ide-ide baru, dan mampu mengangkat potensi 65 juta remaja di Indonesia. Wow! Ini nggak main-main. Ini serius. Yang bikin sedikit 'tenang' adalah fakta bahwa bidang atau media yang digunakan LSM ini sudah akrab dengan keseharianku, yaitu media audio visual. Secara teknis, aku bisa, tapi jadi seorang direktur itu berarti jadi pucuk pimpinan yang harus bisa memimpin bawahan2nya plus 65 juta remaja di Indonesia! Memimpin di sini bukan hanya secara teknis tapi non teknis juga, mental dan sikap. Ya toh? Hyungalah...
Tiba-tiba, yang ada di pikiranku bukan lagi persoalan jadi melamar atau tidak untuk posisi Direktur itu, tapi hal lain yang membuatku realize kalau untuk menikah pun, aku belum siap....
Sudah sering aku dengar, kalau kesiapan menikah untuk setiap orang itu beda2. Kadang yang kita lihat, belum tentu yang dirasa si orang itu. Kadang kita bertanya2, mengapa si A, si B, yang kelihatannya sudah mapan, dewasa, matang...belum juga menikah, tapi si C, si D, yang masih muda dan belum begitu mapan karirnya sudah berani menikah. Jelas, mereka memiliki jawaban dan alasannya masing2. Sepenuhnya aku menghormati hal itu. Sepenuhnya juga aku memahami mengapa beberapa orang masih tak mengerti dan 'memaksa' kita untuk segera menikah dengan alasan kepantasan dan kelayakan menurut 'ukuran' mereka :)
Ketika aku membaca 'syarat' menjadi Direktur itu, aku menanyakan pada diriku sendiri, mampu atau tidak. Yang tau kemampuan dan potensi kita, ya diri kita sendiri, maka aku mulai menanyakan 'kekuatanku'.
Q : "Kamu nanti harus mimpin anak buah, loh"
A : "Bisaaaa. Setidaknya sudah kujalani hal seperti itu.."
Q : "Tinggal di Jogja?"
A : "Mau banget!"
Q : "Ini nirlaba loh.."
A : "i know... bisa dipikirkan nanti..toh aku masih bisa bekerja yang lain juga.."
Q : "Menghadapi birokrasi, orang2 tua..?"
A : "Gampaaang..toh, nanti ada teman2 yang membantu.."
Q : "Ada jutaan remaja yang melihatmu, menunggu aksimu, mungkin 'bergantung' harapan padamu.."
A : "mmm..."
Q : "Kamu tuh kecil, masih kaya anak2. Butuh sosok keibuan atau setidaknya dewasa untuk 'memimpin' mereka. Look at your self!"
A : "...."
Q : "Direktur kok cengengesan, ngetwit asal, senenge dolan...ah, rung pantes dadi conto!"
A : -----------
Q : "gitu aja, kok ya mau nikah! Tanya hati kecilmu, bisa nggak handle anak kecil yang nangis, yang sakit, yang butuh di didik? Allah nggak bakal ngasih kalau kamu belum siap. Sekeras apapun kamu teriak 'SIAP' tapi hati kecil dan Tuhanmu nggak bisa dibohongi!"
A : :(
Aku males melanjutkan tanya jawab sama diriku sendiri ini... Makin banyak nanya, makin jiper aja. Lambat banget ya, perkembangan hidupku. Mau dewasa aja susah. Mau siap nikah aja susah. Mau berani menjalani hidup seperti orang dewasa lainnya aja susah.
Ya memang, aku masih 'enggan' kalau harus direpotkan dengan bayi atau anak kecil, tapi kan siapa tau kalau anak sendiri, enggak. Ya kan?? Aku juga ogah kalau harus bersikap ala ibu-ibu itu. Sangat bukan aku! Cara berpakaian, sikap, dan gesturku itu nggak dewasa banget, lah. Cant explain this, tapi kamu pasti tau maksudku. Gimana aku bisa 'memimpin' anak-anakku kalau mbayangin memimpin remaja2 di luar sana aja aku ragu. Belom lagi harus mempertanggungjawabkan pekerjaan pada jajaran direksi, komisaris, atau owner secara langsung. Kalau mbayangin itu aja masih sulit, gimana mau mbayangin ngadep mertua dan bertanggungjawab untuk bersanding setia sama anaknya... *fiuh!
Ini sama kaya jamannya cari2 kerja dulu. Tuhan ngasihnya bertahap untukku. Tapi pada akhirnya aku realize, kalau itu semua disesuaikan dengan kesiapan diriku. Sebenarnya setiap kita, menyadari banget kapan benar2 siap akan suatu hal, kapan belum. Dulu, ketika melamar kerjaan di perusahaan2 besar di Jakarta, selalu terselip rasa khawatir, akan mampukah aku bekerja di situ, di kota yang jauh dari keseharianku, dan beneran gak berhasil. Trus, aku mulai 'mengerucutkan' pilihan, untuk melamar ke bidang/perusahaan yang aku minati dan sesuai dengan latar belakangku, yakni media. Tapi tetep aja, ketika melamar ke TV-TV nasional saat itu, masih terselip ragu, bisa nggak ya....mampu nggak ya dengan 'ilmu' segini...cukup nggak ya dengan modal tabungan segini... dan beneran, nggak lolos juga.
Sampai suatu masa, setelah aku ngerjain banyak program tv (meskipun skala lokal), setelah aku makin banyak mengerti tentang bekerja di media, setelah aku mulai merasa cukup tabungan untuk (misalnya) dibawa ke Jakarta, setelah aku merasa pede dengan penampilan dan sikapku untuk bekerja di kota besar, setelah aku merasa 'stag' dengan yang kulakukan di kantor lama....Allah mengabulkan doaku, aku diterima bekerja di tv nasional dan merantau ke Jakarta. Entah darimana rasa 'siap' itu muncul, aku hanya merasa siap aja! Dan itu memang indah dirasa... :D
Sekali lagi, ukuran kesiapan setiap orang itu beda-beda. Semua itu dipengaruhi oleh mental, emosional, spiritual, latar belakang sosial, pendidikan, dan pengalaman hidup. Lalu mengapa harus memaksa jika Tuhan belum berkata, iya?!